Minggu, 12 April 2009

Hapus Stigma Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Rendah

Jakarta-RoL-- Ditinjau dari prespektif historis, lembaga pendidikan agama Islam pertama di tanah air adalah dalam bentuk Pondok Pesantren (Ponpes). Dengan ciri relegius oriented, Ponpes telah meletakkan basis pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tak hanya dibekali pemahaman agama juga berkewajiban menyebarkan dan mempertahankan agama Islam.

Lembaga pendidikan Islam lainnya dikenal Madrasah, lebih muda dari Ponpes. Madrasah diperkirakan lahir awal abad 20 ditandai munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta pada 1905 dan sekolah Adabiyah yang didirikan Syekh Abdullah Ahmad si Sumatra Barat (Sumbar) pada 1909. Dalam perjalanannya lembaga pendidikan Islam itu tak mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Tak mendapat kesempatan berkembang di tengah penduduk Muslim terbesar di bumi nusantara.

Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni mengakui bahwa sekitar 92,8 persen lembaga pendidikan di bawah Departemen Agama (Depag) adalah swasta. Dan, karena tak ditangani dengan baik, mutunya di bawah lembaga pendidikan yang ada di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). UU Sisdiknas 2003 memposisikan semua lembaga pendidikan yang berada di bawah Diknas dan Depag sama. Tak ada lagi dikotomi. Namun anggarannya saja tak proporsional.

Seharunya alokasi dana yang diberikan kami proporsional, karena kami juga menjalankan pendidikan nasional. Dari total anggaran pendidikan nasional Rp51 triliun, anggaran yang dialokasikan ke Depag di luar gaji guru hanya 4,3 triliun, kata Direktur Pendidikan Islam, Prof. Muh. Ali.

Padahal di sisi lain tuntutan pemerataan pendidikan, perluasan akses, peningkatan mutu, dan daya saing menghadapi globalisasi sudah dirasakan mendesak. Kebijakan pendidikan yang berpihak kepada kaum miskin dan madrasah swasta sangat dibutuhkan. Karena itu Depag dan Diknas harus bersinergi agar kebijakan pendidikan dapat sesuai dengan kebutuhan di tengah dinamika pembangunan pendidikan.

Realitas bahwa pemerintah hanya mengurusi sekolah negeri merupakan suatu fakta tak terbantahkan. Adanya UU Sisdiknas sudah seharusnya pemerintah mensejajarkan dalam memberikan bantuan. Kendati begitu Ponpes dan madrasah patut diacungi jempol karena tetap eksis dan tak mengandalkan bantuan APBN dan APBD.

Jumlah medrasah pada 2007 untuk Madrasah Ibtidaiyah (MI) 23.517 lembaga, 93 persen di antaranya swasta. Total Madrasah Tsanawiyah (MTs) 12.054 lembaga dengan 90 persen di antaranya swasta. Kemudian Madrasah Aliyah (MA) sebanyak 4.687 lembaga, 86 persennya swasta. Dari besaran angka lembaga pendidikan itu, dapat diinterpretasikan bahwa eksistensi madrasah di tanah air menentukan merah-putihnya pendidikan nasional.

Bukan pilihan utama
Jangankan menjadikan madrasah menjadi pilihan utama bagi masyarakat, untuk memadrasahkan (menyekolahkan) putra-putri sebagai institution of choice sangat jauh. Masyarakat Indonesia masih menilai bahwa lembaga pendidikan ini bukan pilihan favorit. Di sisi lain masyarakat belum mengenalnya. Ini memang ironis, padahal madrasah sudah lama berdiri puluhan tahun di bumi nusantara.

Namun di daerah yang terkenal relegius, seperti Aceh dan Banten, madrasah cukup dikenal. Tetapi jika dilihat secara nasional tingkat favoritas masyarakat Indonesia terhadap madrasah masih rendah dibanding sekolah pada umumnya. Hal lain yang menyebabkan madrasah tak menjadi pilihan utama karena menyangkut rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah.

Suatu kenyataan, di madrasah ada pembedaan, yaitu ilmu umum (seperti matematika, kimia dan teknologi informasi /IT) serta ilmu agama (meliputi baca Al Quran, memahami hadis dan tarekh). Rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah merupakan penyebab rendahnya tingkat popularitas masyarakat terhadap madrasah dibanding terhadap sekolah.

Ini terjadi lantaran kurikulum madrasah hanya berisikan 70 persen ilmu umum. Sedangkan kurikulum sekolah berisi 100 persen ilmu umum dengan asumsi mata pelajaran pendidikan agama dikecualikan. Meski pencapaian nilai ujian nasional (NUN) madrasah ada yang cukup baik, namun madrasah tetap memperoleh stigma sebagai lembaga pendidikan terendah di tengah masyarakat Islam. Bagi insan madrasah memang terasa pahit, namun suatu kenyataan yang terasa pahit harus dapat diterima.

Lantas apa yang dilakukan Dirjen Pendidikan Islam, Muhammad Ali, menghadapi hal itu. Ia punya beberapa kiat. Cara paling konvensional adalah menempatkan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah. Kemudian, ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, katanya. Tapi, hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasramakan alias dipondokkan.

Madrasah yang eksistensinya di tengah Ponpes biasanya mampu menjalankan cara ini. Tapi, pada madrasah non-Ponpes yang siswanya tak nginap, cara ini berat untuk dijalankan. Karena itu, cara modern yang bisa ditempuh adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), melengkapi fasilitas belajarnya (fascility).

Ketiga cara ini, kata Ali, bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tapi, lebih produktif dilakukan secara terintegrasi. Namun cara konvensional dan modern pun bisa dipadukan secara produktif. Kini muncul pertanyaan, masih adakah SDM di madrasah yang memiliki kemampuan. Tentu saja ada jika benar-benar dicari. Di madrasah banyak mutiara terpendam yang belum digali, diasah dan dimanfaatkan potensinya. antara/mim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar