Minggu, 12 April 2009

Mari Dengarkan Rintihan Papua


Di khatulistiwa, di puncak Pegunungan Jayawijaya, Papua, hamparan kecil padang salju bagai mahkota putih di hamparan gelap temaram. Pada kaki-kaki puncak itu lembah-lembah dalam tenggelam di balik bayang-bayang tebing-tebing curam. Di punggungnya air mengukir gurat-gurat urat anak-anak sungai.

Lautnya dalam menyimpan banyak kekayaan terpendam, ikan, penyu, hingga mutiara. Pada tanahnya, orang Papua memperoleh umbi dan sayur-mayur. Di dalamnya aneka mineral tersimpan pada urat-urat bebatuan. Apa yang tidak dimiliki Papua?

Ringkasan lukisan alam ini bisa didengarkan dari sebuah lagu ciptaan Franky Sahilatua berjudul ”Aku Papua”. Lagu itu, antara lain mengatakan, Tanah Papua tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi....

Ketika roda-roda PC-12 milik Yayasan Jasa Aviasi Indonesia, salah satu penerbangan misi di Papua, menjejakkan kakinya di Mulia, kemuliaan yang tampak dari udara itu ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan kehidupan masyarakat asli Papua.

Di pelosok-pelosok pedalaman, banyak warga tinggal dalam koloni-koloni yang tersebar di lembah dan lereng pegunungan. Mereka berupaya keras mengolah tanah, menanami lereng-lereng pegunungan dengan benih-benih ubi dan sayur. Di pedalaman tampak semua kekayaan alam yang dimiliki belum sepenuhnya menyejahterakan rakyat Papua.

Meskipun berbagai jalur transportasi telah dibangun, suasana kesendirian tetap menjadi sahabat. Saat di kota-kota besar di Papua siswa-siswa ramai menyimak pelajaran, sedangkan di pedalaman puluhan siswa kuyup menunggu guru datang di bawah hujan.

”Jika meninjau Papua, sebaiknya Presiden jangan hanya ke Merauke saja, itu kota pendatang. Pergilah ke pedalaman,” kata Indonesianis, Sidney Jones.

Di pedalaman para pembesar negara akan melihat kenyataan bahwa sesungguhnya pemerintah tidak ada di daerah-daerah terpencil tersebut. Namun, ia juga mengatakan, tanggung jawab pengembangan Papua dan masyarakatnya tidak hanya dapat dibebankan di pundak pemerintah pusat. Pemerintah di daerah, tuturnya, juga turut ambil bagian dalam tanggung jawab itu. ”Mereka sering pergi,” kata Sidney Jones.

Kucuran dana, ujarnya, tidak akan berdampak jika tidak didukung oleh pendampingan yang intensif. ”Masalah di Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengan berlimpahnya uang yang diberikan,” kata Sidney Jones.

Dan fakta di lapangan menunjukkan demikian. Umumnya masyarakat Papua belum memperoleh nilai lebih dari percepatan pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut. Jika keberhasilan suatu pemerintahan salah satunya diukur dari kehadiran dan terselenggaranya pelayanan publik, maka di Papua, pemerintah terancam gagal menjalankan amanatnya itu.

Apalagi yang justru selalu tampak adalah wajah keras pemerintah yang termanifestasi pada kehadiran aparat keamanan dan sikap mereka terhadap warga. Hal itu juga membuat trauma masa lalu tentang kekerasan terhadap warga sipil tetap hidup dalam benak mereka dan membuat mereka resah.

Dalam perkara lain, dominasi pendatang yang menguasai sebagian besar aset dan modal di perkotaan membuat masyarakat Papua kian terpojok di tanah mereka sendiri. Selain itu, di pusat-pusat industri warga melihat kekayaan alam Papua mengalir keluar wilayah tersebut dengan hanya sedikit saja yang menetes untuk mereka.

Menurut Sidney Jones, suasana batin warga Papua akan menjadi lebih tenang jika di pelosok-pelosok yang mereka lihat dan temui adalah guru, perawat, dokter, dan pegawai pemerintahan yang selalu siap sedia melayani mereka. Bukan aparat yang selalu mengawasi mereka.

Pendekatan

Pada sisi lain, pendekatan yang dilakukan sebaiknya memang berangkat dari harapan dan keprihatinan warga. Pendekatan modernis dengan pembangunan infrastruktur yang sedemikian gencar yang diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi juga perlu direfleksikan.

Dua tokoh masyarakat di Enarotali, yaitu Ketua Dewan Adat Paniai John Gobay dan Pastor Paroki St Yusuf Enarotali Martin Kuayo, mengemukakan perlunya memberi ruang bagi tumbuhnya aspirasi rakyat. John Gobay mengatakan, dalam ranah budaya masyarakat Mee dikenal apa yang disebut dengan emawa.

Dalam bahasa Indonesia, emawa berarti rumah. Namun, dalam sistem bermasyarakat di lingkungan suku Mee, tutur John Gobay, emawa adalah tempat satu kelompok warga membicarakan berbagai persoalan kelompok atau kampung mereka. Kesepakatan yang diputuskan dalam pembicaraan itu, tutur John Gobay, memiliki nilai moral yang dalam khazanah tradisional bermakna magis.

”Semua terikat pada kesepakatan itu dan bertanggung jawab untuk menjalankannya. Yang tidak menjalankan tentu akan mendapat risiko,” kata John Gobay.

Terkait dengan hal itu, ia menilai apa yang dilakukan pemerintah, seperti Program Respek yang digulirkan Gubernur Papua Barnabas Suebu, akan lebih optimal jika menggunakan pendekatan tersebut. ”Jadi program pembangunan yang direncanakan aplikatif karena sesuai dengan keinginan warga dan warga dengan baik melakukannya karena program itu adalah sesuatu yang mereka butuhkan,” kata John Gobay.

Program Respek adalah program pembangunan yang berangkat dari kampung-kampung di Papua. Program tersebut mulai digulirkan pada tahun 2007 lalu oleh Gubernur Papua Barnabas Suebu. Dalam program tersebut setiap kampung akan mendapat kucuran dana Rp 100 juta dari provinsi dan Rp 100 juta hingga Rp 250 juta dari kabupaten.

Pada tahun 2008 lalu setidaknya telah digulirkan dana sebesar Rp 426 miliar untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Dana tersebut terutama digunakan untuk mengembangkan sumber daya manusia dan alam di kampung-kampung (Suara Perempuan Papua, Edisi No 05 Th V 20-25 Oktober 2008).

Menurut Sidney Jones, niat itu baik. ”Namun, yang sulit adalah mencocokkan antara niat dan realitasnya. Ada yang berhasil baik, tetapi ada juga gagal,” ungkap Sidney Jones.

Kesiapan pemerintah

Saat ini, oleh para pengamat, kebijakan otonomi khusus Papua dinilai cukup memberi ruang bagi masyarakat Papua untuk dapat terlibat. Namun, persoalannya adalah konsistensi. Selain itu, menurut teolog dari STFT Fajar Timur, Neles Tebay, belum ada desain besar dan finalitas dari penyelenggaraan kebijakan tersebut. Dengan demikian, apa yang dilakukan tampak hanya untuk menjawab persoalan sesaat saja.

Selain itu, saat ini dibutuhkan juga hadirnya peraturan daerah khusus dan peraturan daerah provinsi untuk menjamin implementasi otonomi khusus. Namun, hingga saat ini salah satu peraturan daerah khusus yang sudah dihasilkan dan terkait dengan pemanfaatan dana otonomi khusus belum kunjung ditandatangani.

Neles Tebay, mengatakan, tiga hal pokok dari otonomi khusus Papua adalah melindungi, berpihak, dan memberdayakan masyarakat Papua. Hal-hal utama yang terkait erat dengan itu adalah penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, penghormatan terhadap pluralitas, dan persamaan kedudukan sebagai warga bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar