Senin, 25 Mei 2009

NO CHOICE EDUCATION Pendidikan Sebagai Pendorong Pemberdayaan Masyarakat

  1. Pemimpin Idola

Kamis,5 Februari 2004,saya harus segera ke bandara Internasional KLIA Sepang ,untuk berangkat ke jakarta untuk menghadiri upacara penting di Universitas Pajajaran Bandung pada Hari jumatnya,.Unpad akan memberikan anugerah gelar Doktor Honoris Kausa kepada mantan Perdana Menteri Malaysia,Tun Dr.Mahathir Muhamad.Gelar kehormatan ini diberikan kepada atas jasa-jasa Tun Mahathir Muhamad dalam memajukan Perkembangan ilmu ekonomi pembagunan di kawasan Asia,khususnya memajukan Negara Malaysia yang telah dipimpinnya selama 22 tahun.

Semua persiapan telah dilakukan oleh Unpad maupun saya sebagai wakil dari kedutaan ,saya telah bekerja sama dengan tim Unpad ,selama 3 bulan sebelumnya,untuk melakukan pendekatan dan meyakinkan pihak Tun Mahatir Muhamad agar beliau berkenan menerima penganugerahan glar terebut.Oleh karena itu ,peristiwa tanggal 6 februari 2004 menjadi sangat penting untuk lembaga sebesar Unpad,

Setelah tiba d bandara Soekarno-Hatta Cengkareng,saya langsung menuju Bandung,Kami tia diBandung tepat pukul setengah dua belas. di Bandung kami menginap di sebuah hetol yang telah dipersipan oleh pihak Unpad.

Pagi harinya kami menuju ruang kerja rektor dan beberapa pimpinan Unpad lainnya.Kemudian mereka mempersilahkan kami menuju ke ruang kerja rector.disana ternyata telah ada beberapa tamu penting.diantaranya adalah para tokoh pendidikan ,anggota Muspida Propinsi jawa barat,Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.Kami berada diruangan itu untuk menunggu ketibaan Dr.Mahatir Muhamad.

Jam 09.45 rombongan Tun Mahathir Muhamad tiba digedung rektorat.Kami semua yang ada di lantai dua gedung itu segera turun untuk menyambut kedatangan rombongan.Semua sisi gedung telah diblokir petugas pengaman menuju sang rector.didalam kampus ,ribuanmahasiswa Unpad berbaur dengan kerumuan orang-orang untuk menyambut kedatangan Tun Mahathir Muhamad.kemudian semua rombongan dipandu menu ruang kerja rector yang dijadikan tempat transit sementara,saml menunggu upacara penganugrahan gelar doctor dilanksanakan.

Didalam ruangan rector kami berbincang-bincang dengan Tun Mahatjir Muhamad sambil menikmati jamuan the ringan.hampir sepuluh menit waktu yang dihabiskan untuk berbincang-bincang.kemudian Tun Mahathir Muhamad

Diminta panitia untuk mengenakan toga.

Tepat pukul sepuluh rombongan prosesinsegere turun.Pimpinan Unpad dan Tun Mahathir Muhamad mengawali prosesi.prosesi itu berjalan dipelataran parkir ,disamping gedung rektorat.setelah itu kami dipersilahkan lebih dulu memasuki ruang upacara untuk mengambil tempat duduk yang telah disediakan.tak lama setelah itu prosesi senat Unpad memasuki ruangan upacara dan upacara berlangsung dengan tertib dan hikmat.

Dan tibalah waktu bagi Tun Mahathir Muhamad ntuk menyampaikan pidato penerimaan gelar doctor,gagasan-gagasa Tun Mahathir Muhamad dalam pidatonya menyampaikan tentang usaha-usaha menyatupadukan masyrakat Malaysia yang terbilang kaum dari beragam etnis.Keadaan Malaysia saat ini adalah merupakan hasil dari usaha Malaysia untuk menghapus perbedaan antara kaum yang ada didalam masyrakat Malaysia,ujarnya.kita harus mendidik masyrakat kita agar dapat bersatu padu.Kita tidak boleh lagi merumuskan kebijakan kita ,baik ekonomi ,sosial,dan politik atas dasar pertimbangan perkauman.Oleh karena itu Malaysia dapat membangun ketika isu perkauman ,perpaduan antar kaum ,telah dapat diselesaikan.Hal ini sangat penting setelah Malaysia mengalami trauma “pergaduhan” antara etnis Melayu dan Cina pada tahun 1969.

Atas dasar pelajaran dari “pergaduhan” itu ,malaysia menempuh kebijakan bahwa perlu adanya usaha-usaha untuk memperkecil ‘gap’ dalam bidang ekonomi dan perdagangan antara kaum Melayu dan kaum Cina,serta India.Memperkecil ‘gap’ini sangat penting sebab masalah poko yang dapat menyebabkan ‘instabilitas politik’ di Malaysia adalah danya kesenjang pnguasaan sumber-sumber ekonomi antara Kaum.Kalau issue itu tidak dapat diselesaikan dengan baik,Malaysia tidak mungkin dapat melaksanakan pembangunan itu.Itu sebabnya ,saya harus merancang kebijakan ekonomi yang sedikit berpihak kepada kaum melayu,ujarnya lagi.Tetapi kebijakan itu disampaikan juga kepada kaum Cina dan kaum India agar mereka paham dan kalau dibiarkan orang Melayu menderita ,maka yang rugi adlah kaum Cina dan India juga.Sebab persoalan pokoknya tidak diselesaikan ,yakni kesenjangan ekonomi antara kaum.

Setelah kebijakan itu dilansir oleh pemerintah atau kerajaan,ketegangan antara kaum dapat diturunkan dan Malaysia pun dapat memulai pembangunan yang lebih focus.Sektor-sektor perdagang dan industri masih juga dikelola oleh kaum Cina,sementara sector manufaktur lebih banyak ditekuni oleh kaum India,Sementara itu ,sector pentakbiran dan administrasi pemerintahan banyak ditekuni oleh kaum Melayu”segmentasi “ semacam itu tidaklah dirancang dengan sengaja,tetapi “pembagian kerja” seperti itu terjadi dengan sendirinya.walaupun disana sini terdapat banyak kaum Cina,India yang bekerja disektor Kerajaan,begitu juga sebaliknya orang Melayu.

Setelah menyelesaikan mesalah pokok perkauman ,Kami mulai memperhatikan investasi ekonomi,seirama dengan program pemerintah yang ingin membawa Malaysia menjadi Negara maju pada tahun 2020.Industri berat dilansir dengan membangun industri kendaraan bermotor.Industri ini dibangun secara bertahap,mulai dari industri sepeda,motor sampai industri mobil.Kami bekerjasama dengan phak industri mobil di Jepang dan korea untuk mewujudkan “kerete Proton”,yang sekarang menjadi kebanggaan masyarakat Malaysia.

Pelabuhan-pelabuhan kami bangun dengan baik untuk menarik investasi kenegara Malaysia .Pelabuhan port Klang,Port Dickson, dan Tanjung Pelepas,sekarang ini telah mampu bersaing dengan Singapore dalam menarik pelayanan bongkar muat container.Kami memberika kemudahan danintensif yang lebih baik,baik dari sudut pelayanan maupun pengusuran pajak,sehingga para investor mendapatka ‘cost’ yag lebih murah dibandingkan dengan Singapore.Tentu saja cost yang lebih murah ini disertai dengan standar pelayanan yang sama ketika kapal-kapal container mereke berlabuh di Singapore.Kami juga menarik investasi dibidang industri manufaktur dan elektronika.

Salah satu prasyarat penting lain untuk menarik investor adalah dikenalnya Malaysia dengan Negara yang stabil ,baik secara politik maupun sosial.Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan regulasi.Kepastian hukum diberi jaminan oleh kerajaan,sehingga insvestor tidak perlu mengeluarka “biaya tambahan” yang tidak diperlukan .Kebijakan-kebijakan negara seperti itu ,yang saya ambil untuk memastikan bahwa Negara Malaysia adalah daerah yang menarik bagi investasi.Kepastian hukum harus terjadi dari tingkat bawah sampai tingkat paling tinggi,Kita juga tidak ingin para investor lari karena setiap saat dihantui oleh rasa ketidakpuasan para pekerja.sehingga para pekerja melakukan demontrasi atau menuntut hak-hak yang berlebihan.Semua yang berkenaan dengan itu telah kami atur lewat kerajaan,sehingga suasana kondusif bagi investasi dapat dinikmati oleh para investor.

Demikianlah,sebagian isi pidato yang disampaikan oleh Tun Mahathir Muhamad dihadapan siding senat Unpad tersebut. Tun Mahathir Muhamad memiliki kekuatan untuk membawa Malaysia dan rakyatnya kepad pembangunan.ia tidak melakukan kompromi dengan kekuatan lain yang akan mengganggu rencananya untuk membawa Malaysia maju tahun 2020.Upacara berlangsung cukup singkat setelah pidato dari Tun Mahathir Muhamad.dan upacara resmi selasai.

Setelah istirahat ,kami bersiap untuk acara selanjutnya ,yaitu kunjungan Tun Mahathir Muhamad ke kantor surat kabar Harian Pikiran Rakyat Bandung,sebuah “harian milik orang-orang jawa barat” kami berangkat dari Unpad pukul 14.17 dan tiba pukul 14.30.di kantor itu Tun Mahathir Muhamad diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan singkatnya sebagai pengantar diskusi.Dalam kesampatan ini beliau menyampaikan beberapa gaasan tentang hubungan Indonesia-Malayasia,politik internasional ,terorisme,kepemimpinan di Malaysia dan perkembagan ekonomi di Malaysia.

Semua sambutan itu mendapat respon yang cukup dari para peserta ’diskusi’ .setelah itu pertanyaan pertama diajukan adalah pertanyaan tentang terorisme dan keberanian Tun Mahathir Muhamad menolak labeling barat terhadap islam tentang kasus teroris.

Dan ia mengatakan bahwa defenisi terorisme tidak boleh dibuat oleh barat seenaknya sendiri.Apalagi defenisi yang dibuat barat,khusunya Amerika Serikat,lebih banyak merugikan islam.Ada kesan dan tuduhan bahwa islam itu agama teroris .Saya menolak lbelisasi semacam itu,ujarnya lagi.Saya mengharapkan bahwa pengertian teroris itu dibetulkan agar tidak menjadi boomerang.Kita sebagai umat islam,meyakini agama kita dengan baik..Kita boleh memeluk agama kita sendiri secara fundamental ,Tetapi fundamentalis dalam agam bukan berarti kita menjadi teroris.Saya beragama secara fundamental.tetapi saya bukan seorang teroris.tegasnya lagi.Jadi kita hasur ‘melawan’ cara-cara barat dalam menangani issue teroris itu secara betul.kita harus memberi tahu bahwa apa yang dilakukan barat itu tidak sepenuhnya benar. Mereka tidak boleh sekehendak hatinya label kepada orang lain.Sementara itu kita juga tahu bahwa sejarah barat itu dibangun dengan penuh ‘darah’ .sejarah peradaban barat selalu saj dimulai denga konflik ,yang menyebarkan konflik adalah tradisi barat,bukan tridisi kita.Oleh karena itu kita wajib memberikan panangan lain terhadap kesalahan penafsiran yang disengaja oleh barat tersebut.karean kita juga punya hak untuk berpandangan tentang masyrakat kita.masa epan kita bersama.Mereka tidak boleh dengan bebas melakukan legitimasi untuk menunud bahwa Negara ini dan Negara itu adalah sarang teroris.

Seperti mereka mengatakan Saddam Husein mempunyai senjata pmusnah missal yang akan mengancam dunia,tetapi sampai sekarang tidak ditemukan sedikitpun bahan-bahan yang dituduhkan tersebut.Mereka dengan mudah menginjak-injak hukum internasional.

Ditanya oleh seorang wartawan mengapa Malaysia tidak menerapkan demokrasi Karena ISA masih dipergunakan untuk ’memberangus’ kelompok oposisi di Malaysia, Tun Mahathir Muhamad menjawab bahwa issue tersebut sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang tidak senang kalau Malaysia maju,demokrasi di Malaysia tidak akan pernah sama dengan Negara barat atau Amerika .Bahkan tidak akan sama juga dengan Indonesia .Demokrasi itu adalah paham bagaimana suatu pemerintahan hasur diurus .Demokrasi itu bermacam-macam .Ia bergerak seperti titik-titik- dalam sebuah garis.demokrasi itu bergerak dari kiri sampai dengan ujung sebelah kanan.Sekarang tegantung kita menempatkannya.Apakah kita akan meletakan demokrasi itu persis ditengah-tengah ,atau kita berada ditengah tetapi agak kekiri,atau ditengah tetapai agak kekanan. Atau sekaligus kita tempatkan demokrasi itu disudut paling kiri atau disudut paling kanan, Setiap negaran memiliki corak demokrasinya sendiri-sendiri.Saya tidak bisa mengukur demokrasi yang dikembangkan diindonesia dari sudut pandangan Malaysia dan barat . Saya kira,Indonesia memilih demokrasinya sendiri sesuai dengan keinginan dan tujuan yang hendak dicapainya .Oleh karena itu ,Malaysia juga menentukan corak demokrasinya sendiri . ia tidak sam dengan apa yang terjadi di Amerika dan Eropa. Karena sejarah dan keadaan culturalnya juga amat berbeda.Apalagi kalau dilihat dari sudut waktu pembentukan masyrakat bangsa masing-masing Negara.Oleh karena itu , biarkan Malaysia memilih demokrasinya sendiri, begitu pula Indonesia ,Eropa dan Indonesia. Kalau ada perbedaan ,itu adalah sebagai konsekuensi logis dari perbedaan kultur dan corak masyarakat. Tidak boleh ada penyeragaman demokrasi . Kalau ia seragam ,tentu buan demokrasi lagi namanya . ujar Tun Mahathir Muhamad dengan lugas.

Diskusi tambah hangat ,Karena banyak pertanyaan sensitif yang memperoleh jawaban menarik dari Tun Mahathir Muhamad, seperti pertanyaan nakal dari wartawan seperti ini : Kami mendengar bahwa Tun Mahathir Muhamad akan bertemu dengan mantan Presiden Indonesia Soeharto ? Tidakkah peristiwa ini memberi indikasi bahwa Tun Mahathir Muhamad memberi dukungan kelompok Soeharto ? bahkan ada pernyataan bahwa Tun Mahathir Muhamad akan mertemu dengan tokoh yang sedang ‘ relly’ untuk ikut bertanding sebagai calon Presiden Indonesia yang akan dating?bukankah itu menjadi indicator bahwa Tun Mahathir Muhamad memberi dukungan kepada orang tersebut?

Mendengar pertanyaan tersebut , Tun Mahathir Muhamad tersenyum . Ia menjelaskan maksud dan tujuannya bersiliturahmi dengan pak Soeharto. Ia mengatakan ia ingin bertemu dengan pak Harto karena pak Harto itu kawan lama . Ia dan pak Harto turut menirika Asean . Ia dan pak Harto sama-sama telah pensiun ,ujarnya lagi smbil disambut tawa spontan para hadirin. Ia tidak bermaksud terlibat dalam politik di Indonesia . Saya pun sudah lama tidak bertemu dengan beliau.bahkan rebcana ini ini sudah ad sebelum saya pensiun ,tetapi waktu untuk bertemu sangat terbatas,sehinggaa baru di kesempatan kali ini baru bisa di laksanakan .

Begitu pula pertemuan kami dengan beberapa tokoh Indonesia.Pertemuan itu tidak ada kaitannya dengan sama sekali dengan perkembangan politik di indonesia .Saya akan bertemu dengan tokoh-tokoh islam, ingin mendiskusikan perkembangan umat islam dan issu-issu tentang islam didunia .Pertemuan ini disponsori oleh Persatuan Masyarakat malaysia-Indonesia . Lembaga ini adalah sebuah institusi yang ingin membangun saling pengertian antara masyarakat dan tokoh-tokoh yang ada di malaysia dan indonesia. Lembaga ini adalah ( Non Goverment Organization) NGO,bukan lembaga pemerintah . Oleh karena itu saya berpandangan bahwa sangat penting untuk memberikan penguatan terhadap lembaga-lembaga sejenis ini agar dapat terus menjembatani dialog antara tokoh-tokoh indonesia dan malaysia , Sehingga banya persoalan bisa diselesaikan lewat silaturahmi antar tokoh ini. Kehadiran saya ,sekali lagi bukan untuk mendukung siapa yang akan menjadi calon Presiden,tegasnya kembali.

Begitulah Tun Mahathir Muhamad menawab semua pertanyaan yang diajuka oleh para wartawan dan semua yang hadir tampak puas dengan diskusi tersebut dan diskusi pu selesai.

Setelah kejadian hari ini saya menangkap ada rasa kerinduan warga Bandung khususnya atau warga Indonesia pada umumnya , terhadap sosok pemimpin sejati , pemimpin yang kuat , pemimpin yang dapat menjadi idola warganya. Rasa dan harapan itu tampak pada wajah mereka dalam menyambut sang tokoh , tampak dalam pertanyaan mereka, tampak dalam ekspresi mereka ketika menyambut Tun Mahathir Muhamad. Idolisasi semacam itu , kemudian diterjemahkan oleh seorang guru besar Unpad kepada saya sambil berkelakar. Apakah mungkin kita menyewa seorang Tun Mahathir Muhamad untuk memimpin Indonesia . Tak usah lama ,cukup tiga tahun saja ,agar indonesia ini kembali pulih agar pemimpin kita tidak gandrung berkelahi yang tanpa ujung . Agar Indonesia mempunyai tokoh contoh sebagai pemimpin.

Dalam kelakar tersebut saya hanya mampu menangkap bahwa kita sebagai bangsa indonesia , sekarang ini memang sedang memerlukan sosok pemimpin yang aspiratif ,mewakili perasaan hati rakyatnya.

  1. Membentuk Kelas Menengah

Sabtu ,7 Februari 2004,pukul 07.00, Kembali dilakukan pertemuan tatap muka antar Tun Mahathir Muhamad dengan mahasiswa, dan pelajar Malaysia yang sedang belajar di beberapa Universitas di Indonesia . Dan juga dihadiri beberapa pimpinan perguruan tinggi ,wakil dari kedutaan besar Malaysia untuk Indonesia,dan beberapa agen yang selama ini menjadi mediator pengiriman mahasiswa Malaysia ke Indonesia , dan staf dari kantor Yayasan Pemikiran Perdana Sendiri.

Pertemuan ini dilaksanakan di sebuah ruangan di hotel preanger,dan pihak rector memulai pertemuan tersebut dengan menyampaikan pengantar. Dalam pengantarnya itu, rector memberikan penjelasan singkat tentang mahasiswa Malaysia yang ada di Indonesia . khususnya yang sedang belajar di Unpad. Selanjutnya rector memberikan kesempatan bagi Tun Mahathir Muhamad untuk menyampaikan pengantar dialognya kepada peserta yang hadir pada saat itu.

Tun Mahathir Muhamad membuka menanyakan keadaan para mahasiswa itu, ia menyampaikan maksud dan tujuan mengapa dia dating ke Bandung . Setelah menyampaikan beberapa pengantar , Tun Mahathir Muhamad mulia masuk dalam “ subtansi” pembicaraan , ia mengatakan bahwa pendidikan itu penting . Penting bukan saja minangkatkan wawasan dan pengetahuan kita sebagai manusia , tetapi pendidikan juga sebagai “ the entry gate to class elite society”. Ini bermakna bahwa kalau Negara kita hendak menjadi Negara maju , maka salah satu pokok masalahnya adalah tersedianya golongan masyarakat terdidik.

Kita tidak bisa lagi hanya bertumpu pada keadaan masyarakat seperti dulu ,sebab keadaan telah berubah . Dunia juga sudah jauh berubah , jadi kita harus mengikuti perubahan itu. Kalau kita hanya berdiam diri , maka kemungkunan besar kita akan ditinggalkan oleh orang lain. Kita sangat sadar bahwa masa depan masyarakat dan bangsa malaysia diletakan kepada golongan terpelajar ini . Karena itu , saudara-saudara harus belajar diberbagai keahlian,tak kira apakah keahlian yang dipilih. Hanya saja, menurut saya , ujarnya lagi , malaysia masih banyak memerlukan tenaga yang berkeahlian dibidang kedokteran ,farmasi dan bidang-bidang sains lainnya. Dan bagi mereka yang kuliah dibidang kedokteran , Malaysia mensyaratkan bahwa bidang ini sangat tinggi. Sebabnya yaitu apabila seseorang telah boleh menjadi seorang dokter maka dia ia sebenarnya telah diberi ”licence to kill” . Oleh sebab itu ,jenis keahlian ini harus benar-benar memenuhi standar yang telah ditetapkan . Ia tidak boleh Unqualifield. Disamping itu banyak memerlukan tenaga profesional dibidang teknik. Negara kita sedang membangun . Negara kita sedang berjalan menuju negara maju . Banyak tenaga terdidik di bidang ituyang kita perlukan . Kita harus mengisi tenaga-tenaga kerja di industri-industri , manajer untuk pengurusan kerajaan dan sektor swasta. Pendeknya kita memerlukan banyak sekali profesional . We need of poeple of ”middling” wealth and occupation ,tegasnya lagi. Dalam mencapai ‘matlamat’ seperti itu , kita harus mendorong semangat warga Malaysia untuk berpendidikan lebih baik . Pemerintah telah lama menyediakan anggaran untuk pendidikan ini dengan besar. Sekolah-sekolah kita bangun. Sekolah yang rusak kita perbaiki dengan standar yang betul. Kolej-kolej kiya bangun untuk menampung anak-anak malaysia yang ingin memperoleh pekerjaan lebih cepat . Infrasruktur pendidikan kita pertingkatkan agar menjadi ’ world class institution’. Sekarang ini telah banyak mahasiswa luar negara yang hendak bersekolah di malaysia , sehingga mutu sekolah-sekolah kita juga sudah mulai dan pengakuan dari berbagai negara, baik dari Eropa maupun Asia. Sekarang ini , diperguruan tinggi malaysia telah terjadi ’Ienternational integration’ baik secara kualitas maupun secara kultural . Lenbaga pendidikan tinggi kita menjadi terangkat ke atas dengan banyaknya mahasiswa asing yang kuliah di malaysia. Pada jangka panjang hal ini akan mampu mendorong terbentuknya kelas menengah yang banyak di malaysia. Golongan orang yang aan menentukan perkembangan ekonomi dimasa-masa depan .

Dari subtansi penjelasan di atas saya dapat menangkap ’ hidden messages’ yang amat strategis dari materi penjelasan Tun Mahathir Muhamad tersebut. Di antaranya adalah bahwa melalui pendidikan tampaknya malaysia akan meletakan masyarakatnya pada tataran tenaga kerja yang memiliki tingkat keahlian tinggi Saya menduga bahwa pendidikan diposisikan sebagai ”education to keep their people on a high social level” . Ini berarti bahwa malaysia secara serius menyiapkan bangsanya agar mampu memasuki are’ knowledge economi’ dengan penguasaan bidang-bidang keahlian yang menjadi persyaratan untuk itu.

Tampak jelas bahwa ada satu pelajaran penting bagi Indonesia dari pertemuan tatap muka itu. Bahwa untuk membangun suatu masyarakat diperlukan kmitmen yang tinggi terhadap peningkatan mutu dan kapasitas masyarakat. Jalan yang paling penting untuk meningkatkan mutu masyarakat ini tiada pilihan lain selain mendidik masyarakat lewat lembaga pendidikan atau sekolah. Tidak ada pikiran bahwa peningkatan kapasitas dan mutu masyarakat dapat dilakukan dengan cara ’short cut’ . Semua itu harus dilakukan secara terencana sistematis,tekun, dan berkomitmen tinggi . Kita harus membentuk kelas menengah ini dengan perencanaan,’by design’. Kita tidak boleh lagi membiarkan masyarakat kita tumbuh dan berkembang dengan sendirinya . Pemerintah seolah-olah berdiam diri , tak banyak melakukan perbuatan untuk mendorong agar kapasitas dan mutu masyarakat meningkat dengan cepat.

  1. Universitas: Lembaga birokrasi Baru

Saya diminta hadir dalam diskusi yang bertema Perubahan Universitas menjadi lembaga birokrasi. Dalam diskusi itu saya diminta sekedar memberikan pengantar dan pandangan tentang perkembangan Universitas kita di tanah air seiring dengan berlangsungnya reformasi.

Tema tersebut sengaja diusung oleh para aktivis refirmasi diluar negeri, kerana merekan berpendapat bahwa lembaga yang paling berkompeten dalam menjaga ide reformasi terus berlangsung adalah universitas. Sebab universitas merupakan institusi yang secara aktif menggulirkan gagasan reformasi. Universitas harus turut bertanggung jawab mengenai mati dan hidupnya reformasi.

Gagasan reformasi dan bentuk reformasi yang ada sekarang ini telah jauh dari kehendak dasarnya yakni menciptakan masyarakar sipil yang kuat penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari tindak korupsi,kolusi dan nepotisme, serta penegaan hukum, kepastian hukum harus menjadi acuan bersama . Ujung dari semua gagasan itu adalah terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial.

Ketika mengikuti diskusi ’segairah ’ itu ,saya mengajukan beberapa persoalan yang sedang terjadi di universitas. Problema yang saya ajukan , saya tegaskan kembali, juga pernah dialami oleh berbagai uniersitas besar didunia , Kita harus belajar dari pengalaman pengelolaan universitas yang ada di seliruh dunia ini. Minimal kita kita juga dapat belajar dari beberapa universitas yang menjadi rujukan kita. Dalam rangka itulah , saya mengajak peserta diskusi untuk menyimak keadaan seperti ini: Saya mengungkapkan bahwa hampir 60 tahun yang lalu, Universitas-universitas di jerman telah menjadi lemaga yang terunggul di dunia . Mereka menguasai kiblat pendidikan didunia , karena mereka telah menjelma menjadi lembaga peraih nobel dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hampir setiap tahun telah lahir penerima nobel dari universitas-universitas di jerman seperti heidelberg university, Gottingen University,dan sebagainya. Namun belakangan ini reputasi itu mulai luntur. Posisi peraih nobel telah lama bergeser kepada akademikus yang berasal dari yang berasal dari universitas-universitas di Amerika seperti Harvard,Princeton, dan Stanford. Universitas-universitas di jerman ini sedang mengalami ’tidur nyenyak’. Mereka tampak sinuk dengan dirinya sendiri . Kebesaran yang sebelumnya disandang telah mulai dialihkan kepada universitas lain.

Universitas-universitas di jerman tersebut, menurut pandangan saya, sekarang ini sedang mengalami ’overcroweded anf underfinanced’ . Mereka melakukan perekrutan massal calon mahasiswa, akibatnya mereka juga menghasilkan lulusan yang ’outdated skill’. Kebijakan universitas telah melampaui ’kemampuan manejerial’ sebuah lembaga universitas, sehingga lembaga universitas telah berubah menjadi institusi ’toko kelontong’ , yang menyediakan berbagai tawaran kepada masyarakat. Efek dari semua kebijakan itu adalah bahwa fokus dari kegiatan univesitas sudah mengalami kekaburan. Lembaga universitas telah menjadi lembaga kursus. Ia tidak lagi menjadi institusi yang kelompok orang yang memiliki kemampuan yang brilian dalam bidang dan disiplin ilmu tertentu.

Masalah seperti diatas berlangsung terus. Universitas-universitas berlomba untuk bertahan hidup dengan komitmen pembiayaan yang rendah dari pemerintah. Inovasi dan kerja kreatif yang diharapkan kepada warga universitas terhalang oleh kendala biaya. Universitas masing-masing mencari jalan pintas melalui mekanisme pencarian pembiayaan dari semua orang yang berkepentingan . Fokus pencarian itu semua diletakan pada calon mahasiswa . Akibat dari cara-cara seperti ini rekuitment calon mahasiswa menjadi sangat longar. Persyaratan akademik dan kemampuan lainnya diletakan menjadi nomor urut belakang . Persyaratan kemampuan finansial menajdi pertimbangan yang ’selalu’ mengalahkan pertimbangan kemampuan akademik.

Kalaulah universitas di indonesia ingin bersaing melakukan kompetisi dengan lenbaga universitas luar negeri ,masalah birokrasi seperti diatas harus segera diselesaikan. Kalau tidak, peristiwa seperti yang terjadi pada lembaga universitas jerman tidak mustahil juga terjadi di Indonesia . Universitas-universitas di Indonesia hanya terkenal karena rekrutment calon mahasiswanya yang banyak, tetapi tidak akan pernah terdengar lewat hasil karya yang telah dihasilkan .”Bureaucratic solution” menjadi saluh satu kunci memperbaiki wajah universitas kita agar ia masih memiliki wibawa dan reputasi.

Saya berkeyakinan bahwa masyarakat kita di Indonesia , dan juga eknomi kita akan berkembang dan terus survive bila kita membuka diri terhadap orang lain untuk belajar di lembaga-lembaga uivesitas kita. Kita harus membangun universitas kita tersebut menjadi suatu institusi yn berkualitas dunia . Dengan demikian dia akan menjadi daya tarik bagi orang asing untuk belajar di lembaga-lembaga pedidikan kita . Efek dari semua ini ,lembaga-lembaga pendidikan kita harus mampu menciptakan gelombang kegiatan ekonomi baru di dalam masyarakat melalui apa yag saya sebut sebagai ’education tourism”. Industri pendidikan kita dapat menjadi lokomitif pergerakan ekonomi, kalau mutu dan standar pelayanan pendidikan di negara kita dapat menyamai standar kualitas pendidikan negara-negara yang ada disekitarnya. Ruang kosong kompetisi yang ada didalam universitas kita harus segera di isi dengan kesadaran penuh . Salah satu cara untuk mengisinya adalah membuka universitas agar dapat dimasuki oleh pelajar-pelajar asing yang baik. ’ Our economy and society will only survive if we learn to draw bright foreign students to fill hese empty space ‘.Kalau ini terjadi birokrasi di universitas yang sekarang dalam keadaan hamper menyerupai birokrasi pemerintahan akan segera teratasi.

Saya menaruh perhatian besar terhadap komitmen dari para aktifis tersebut. Mereka memelihari cita-cita reformasi untuk mancari solusi perbaikan terhadap masa depan bangsa dan negara. Ereka senantiasa memiliki komitmetnt kuat akan masa depan negara yang lebih baik. Dengan pikiran yang berkecamuk ,saya tinggalkan kawasan universitas malaysia sore itu.

  1. Polarisasi Kaum

Sekelompok anak Cina asyik bermain pagi itu. Mereka saling mendorong satu sama lain. Disudut lain tampak tampak pula segerombolan anak-anak yang hampir sama,tetapi berasal dari Bangsa Melayu. Mereka bermain bersama tanpa mempedulikan kelompok anak-anak lainnya. Padahal mereka satu sekolah.

Pola pengelompokan anak-anak ini tampaknya sudah menjadi biasa,bahkan mungkin telah lama berada dalam ”back mind” mereka semua. Mereka merasakan bahwa mereka harus bermain dengan anak-anak yang berasal dari rumpun kebangsaan ynag sama. Tidak satupun dari anak-anak itu bermain dengan teman sebaya mereka yang berasal dari bangsa lain,walaupun mereka berada didalam satu sekolah yang sama.

Persoalan seperti diatas tampaknya sederhana kalau kita tidak cermati. Tetapi , sesungguhnya pengelompokan itu mencerminkan sesuatu hal yang amat mendalam . Kita selalu dihadapkan pada argumen ,baik terbuka maupun tertutup,bahwa kita berasal dari ’kaum ini’ yang unggul,sementara ’kaum yang itu’ kurang unggul. Orang tua dan para tokoh masyarakat banyak sekali memberikan pandangan dan gambaran fantasi kepada anak-anak kita tentang polarisasi kaum ini. Semua persepsi perkauman ini saling mengunggulkan diri antara kaum yang satu dengan yang lain disosialisasikan kepada anak-anak kitatanpa sengaja. Anak-anak itu ’dipaksaberada dalam situasiunconscious fantasi”, dimana kehidupan pergaulan masyarakat didasarkan kepada pemahaman dan pengalaman terdahulu orang tua.

Melihat kenyataan ini ,merenungi masa depan bangsa-bangsa didunia kita memerlukan’new education movement’yang memberi kita roh baru terhadap peran lembaga pendidikan sebagai institusi terdepan dalam menghilangka polarisasi tersebut . Lembaga sebaiknya harus berada dalam posisi meningkatkan kesadaran bersama bahwa jenis kebangsaan harus berada dapat diterima sabagai sesuatu yang bersifat ’given’. Ia ada karena kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Manusia tidak dapat menentukan pilihannya sendiri untuk lahir dari jenis kebangsaan tertentu, atau ai meminta untuk dilahirkan dengan pilihan jenis kebangsaan tertentu. Oleh sebab itu ,masalah perkauman yang azasi , yang tidak boleh mendapat tempat untuk dipersoalkan dimanapun orang berada.

Lingkungan pergaulan anak seperti terlihat di pagi itu memberikan bahan renungan bagi kita semua bahwa polarisasi kaum sangat mengkhawatirkan kehidupan masa depan masyarakat kita. Sikap polarisasi ,tidak menghargai pluralisme bisa menyimpan banyak ’bom waktu’ dimasa datang,karena melalui sikap –sikap semacam ini akan muncul supremasi keunggulan keakuan dari masing-masing kaum. Sikap semacam itu akan banyak menghambat proses kemajuan suatu bangsa , Karena segmentasi perkauman seperti diatas akan banyak membawa pada situasi ’perselingkuhan kultural’ ,dimana kaum yang satu bekerjasama dengan dengan kaum yang lain untuk melanggengkan kepentingan tertentu . Itu sebabnya , kita juga berpikir jauh bila issu pencalonan jabatan presiden ditanah air mengacu pada pasangan jawa dan luar jawa. Jargon semacam itu juga menampakkan bahwa para elite pemimpin kita juga masih berpikir segmentasi jenis kebangsaan.

Problema kultural seperti itu juga menjadi persoalan politik , akan menempatkan kita masyarakat kita berada di dalam posisi ’unconscious mental process’ yang terus menerus sehingga akan melanggengkan nilai-nilai segmentasi perkauman . Oleh sebab itu, kita akan selalu terjebak dalam ’unconscious fantasi’,dengan menerima polarisasi sebagai sesuatu yang biasa ,harus terjadi dengan segala resikonya.

Usaha-usaha untuk mengatasi polarisasi kaum itu terus dilakukan ,walaupun kean yang tampil kepermukaan masih merupakan kegiatan yang bersifat seremonial ,ritual dan artifisual. Secara subtansif masalah ini masih menyisakan begitu banyak truma. Bahkan ,dikalangan etnis yang bukan Melayu, keadaan ini masih berada dalam tingkat ”waspada”. Seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang setiap saat bisa saja ’meledak’ , yang kemudian akan menimbulkan begitu banyak tragedi ,trauma dan kebingungan sosial.

Saya jadi bertanya dalam diri saya,sesungguhnya kita ini siapa ? Mengapa kita sering kali membagi dan membelah anggota masyarakat atas dasar”saya” dan ”kamu” ,”kita” dan ” orang lain’ ,”putih’ dan ”hitam”, ”Melayu’ dan ”cina”,”india”,”arab”,”aceh”, dan ”jawa”,”Madura ” dan ”dayak”, an sebagainya.

Sebenarnya siapa ita ini?Siapa orang Indonesia itu? Siapa orang Melayu itu? Oleh sebab itu ,mengklaim bahwa saya lebih baik dari yang lain ,kita lebih unggul dari yang lain, kita lebih mempunyai ’darah biru’ dari orang lain, merupakan sesuatu yang bersifat absurd, kalau kitatidak kita nyatakan sebagai sesuatu yang kurang bermnfaat . Polarisai kaum menjadikan kita berfikir atas dasar pertimbangan konflik, dikotomis; dimana unsur yang satu dihadapkan dengan unsur yang lain. Berfikir semacam ini tentu saja , mengisyratkan adanya ’musuh’ yang segera harus dilawan dihadapan kita . Kita tidak mau dan tidak menyediakan diri untuk ’berintegrasi’ satu sama lain atas dasar kesamaan. Mungkinkah kekayaan kaum-kaum yang ada ditengah-tengah kita bisa mendidik kita menjadi lebih bijak. Menikmati kekayaan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus kita menghayati begitu besar keangungan kekuasaanNya. Semua kita semua damai di dunia dan damai pula di akhirat.

  1. Runtuhnya Peradaban Kita

Dalam satu minggu terakhir ini (20-27 Mei 2004) masyarakat malaysia dan Indonesia digegerkan dengan berita penyiksaan seorang Nirmala Bonet, pekerja rumah tangga asal Indonesia , oleh majikannya di sebiah apartement mewah di kuala lumpur. Nirmala Bonet menjadi ikon kemarahan setiap warga negara yang melihat langsung bekas-bekas penyiksaan yang diterimanya dari tempat majikannya.

Saya melihat langsung keadaannya ,dengan beberapa teman,disamping mendengar rintihan anak itu. Saya terkejut melihat keadaannya . Apalagi wajah dan bibirnya tak dapat memberikan reaksi terhadap perasaan yang dideritanya. Terkadang ia menagis , sesekali ia melihar semua yang hadir dengan mata kosong. Ia tak mampu bercakap-cakap lagi untuk menceritakan detail penyiksaan yang dilakukan oleh seorang majikan terhadap ’hamba sahaya’nya. Pikiran saya, ketika itu terganggu terus. Saya tidak dapat membayangkan bahwa kejadian seperti ini telah ada di hadapan kita ,ketika jaman telah modern, ketika masing-masing masyarakat menyampaikan bahwa kita sedang hidup di alam masyarakat beradap. Kita saat ini, bukan sedang berada pada masa jahiliah, dimana perbudakan dan kebiadaban dapat berlangsung dengan seenaknya, tanpa pernah dapat dipersoalkan. Tetapi, kenyataan menunjukan cerita lain. Apa yang sedang terjadi dihadapan saya ketika itu adalah realitas yang terjadi disebuah negara yang mengaku memiliki peradaban yang luhur. Sebuah negara yang sedang mengagung-agungkan keberhasilan dalam pembangunan.

Perasaan dan hati nurani setiap orang tergugah dengan kejadian seperti itu. Media masa dan para pekerja pers melakukan blow-up terhadap kejadian itu , agar masalah peradaban semacam ini menjadi perhatian kita semua. Namun demikian tak satu orang pun yang mengambil inisiatif untuk segera melihat fakta dan akar persoalannya.

Banyak orang yang bersimpati terhadap Nirmala. Bahkan di kalangan pejabat atau anggota masyarakat malaysia berbondong-bondong mengulurkan bantuan untuk menyatakan simpati dan kesedihan. Bahkan ada yang mengajukan diri untuk membiayai seluruh recovery kult tubuh anak malang itu. Kita menyatakan simpati terhadap keinginan seperti itu. Namun demikian, persoalan sesungguhnya tidak terletak sampai disitu . Persoalan sebenarnya adalah menyangkut tata peradaban kita, keluhuran suatu peradaban masyarakat. Kita menyaksikan bahwa masih ada masyarakat yang sama sekali tidak beradab ’di dalam dunia yang dikatakan beradab’. Persoalan induk adalah perbudakan, eksploitasi manusia oleh manusia. Suatu persoalan yang tidak akan pernah selasai di dalam masyarakat yang hanya menjunjung tinggi peradaban dalam pernyataan. Perbudakan manusia oleh manusia, karena manusia satu dipandang lebih miskin dari kaum yang lain, karena etnis yang satu dilihat lebih superior dari etnis yang lain, karena negara yang satu lebih makmur dari negara lain, pendangan rendah terhadap pembantu rumah tangga.

Saya menyakini bahwa keinginan seorang majikan untuk meminta bantuan kepada penbantu agar rumah agar tetap dapat ’membantu’ bekerja dirumahnya adalah karena ia sendiri tidak dapat melakukan pekerjaan rumahnya secara independen. Perjanjian kontrak sosial seperti ini, sesungguhnya, telah mencerminkan adanya kepentingan bersama untuk menyelenggarakan ’ kerumahtanggaan’ secara normal dan bertanggung jawab. Oleh karena itu seorang pembantu rumah tangga bukanlah seorang budak atau hamba sahaya yang tidak memiliki kekuatan untuk ’duduk sama rendah, berdiri sama tinggi’ dengan majikannya. Kontrak sosial semacam itu, seharusnya diletakan sebagai perjanjian pembagian tugas didalam rumah tangga.

Kasus Nimala membuka selubung telah runtuhnya peradaban kita. Dibalik fenomena itu terdapat begitu banyak persoalan menyangkut nilai-nilai peradaban manusia yang telah terlanggar oleh orang-orang yang mengaku dirinya beradab. Tiadak ada ekspresi lain selain merenungkan kembali apa yang sesungguhnya terjadi didalam masyarakat kita, terutama di dalam masyarakat malaysia. Munhkinkah mereka telah terjebak dengan hingar bingar kosmetik kesuksesan pembangunan yang sedang bergulir? Ataukah hal ini merupakan cermin sesungguhnya dari ’keaslian peradaban’ masyarakat Malaysia, ketika kosmetik dibuka melalui keterusterangan seorang Nirmala dengan kejujuran media massa.

Dalam masyarakat yang sudah modern, meritokrasi dan berbudaya luhur segmentasi dan pengkastaan merupakan sesuatu yang ’menghinakan’ eksistensi dan keluharan penciptakan manusia. Oleh sebab itu kita harus mampu memberikan kritik terhadap praktek-praktek budaya semacam itu. Kita harus segera mengikis habis sifat dan sikap pemaksaan penghambaan modern yang tengah berlangsung di sekitar kehidupan kita. Penghambaan dan perbudakan, eksploitasi manusia, perdagangan manusia, pemaksaan. kehendak, penistaan, baik secara terang-terangan atau terselubung, merupakan musuh dari peradaban luhur yang sedang kita bangun bersama.

  1. Pendidikan Demokrasi

Belakang ini disekitar kita bertebaran informasi tentang perdebatan demokrasi. Perdebatan yang dipicu oleh banyaknya negara-negara yang sedang melaksanakan pemilu umum, suatu tahapan proses yang oleh banyak kalangan disebut sebagai salah satu pintu masuk untuk mewujudkan masyarakat demokratis.Lalu kita bertanya mengapa demikian?Mengapa ada kegandrungan orang untuk memilih’demokrasi’ sebagai sesuatu yang menjanjikan” . Bukankah masih ada sistem-sistem penyelenggaraan negara yang lain?Bukankah demokrasi itu lebih condong kepada liberalisme?

Menurut catatan, saat ini sekitar 120 negara melaksanakan sistem demokrasi didunia. Ini berarti lebih dari 63% dari jumlah negara yang ada didunia menganut sistem pemerintahan demokrasi.Sistem demokrasi dilihat orang sebagai suatu standar dalam membentuk suatu pemerintahan dalam rangka membangun kehidupan umat manusia yang berbudaya. Fenomena dunia seperti ini, tentu saja, memerlukan kesiapan kita semua. Kita harus mampu melakukan perubahan dalam diri kita sendiri. Suasana masyarakat dunia telah mengalami pergeseran yang signifikan. Arus informasi di dunia global telah merambah kemana saja tanpa mempedulikan sekat-sekat yang telah kita buat. Satu kejadian pada hari ini di negara kita, dengan serta merta dapat diketahui oleh masyarakat dinegara lain dalam jarak waktu yang singkat. Bahkan melampaui hitungan detik”tecnological driven” telah menjadi instrument penting dalam menjalankan informasi perubahan masyarakat, dari masyarakat tertutup, hierarki kepada masyarakat terbuka dan menganut sistem demokrasi. Fenomena semacam ini menjadi milik rakyat kebanyakan. Tidak lagi monopoli informasi, bahkan kita tidak mungkin lagi melakukan disformasi karena semua aspek dari kehidupan kita telah memiliki skses yang sama terhadap informasi.

Fakta-fakta perubahan semacam ini tampak jelas kalau kita melihat program-program desiminasi arus informasi. Telivisi, film, musik, jenis hiburan, talk show, life syte telah menunjukan warna pengaruh demokrasi. Kita agak sulit menemukan satu jalur tertentu yang orisinil tanpa sentuhan proses demokratisasi masyarakat. Referensi kultural masyarakat sekarang ini telah berpindah kiblat kepada antisipasi terhadap perubahan tuntutan demokratisasi seperti diatas. Kita banyak menemukan keinginan anak-anak muda yang hendak ’menjadi sama seperti’ yang dilihatnya i gambar iklan atau di dalam media publikasi. Gelombang orang untuk ’ingin menjadi seperti itu ’semakin banyak, bahkan menjadi gelombang salju. Sekarang ini, terdapat kecendrungan bahwa kuantitas telah menjadi kualitas. Mengapa hal seperti itu terjadi secara dramatik ? Mengapa perubahan semacam itu telah menjadi gaya hidup masyarakat? Mungkinkah hal ini menjadi fenomena sosial yang berlangsung dalam skala besar? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sengaja saya ungkapkan. Sebab saya tahu bahwa apa yang sedang berlaku banyak juga menyebabkan efek yang tidak harmonis.

Saya memandang bahwa pendidikan demokrasi adalah sesuatu yang harus, tak dapat dielakan di dalam masyarakat kita yanh sedang mengalami transisi. Kita menghendaki bahwa pengamalan demokrasi tidak berhenti pada titik wacana publik,kampanye politik dan kliam politik. Tetapi kita harus bergerak sampai kepada tahap bahwa demokrasi menjadi ’way of life’. Kalau tren kearah ini memiliki saluran yang lebih baik, maka kita berhak optimistis bahwa negara dan bangsa kita akan berkembang menjadi sebuah masyarakat sipil yang beradab. Itulah dia yang sering kita sebut sebagai masyarakat sipil,civil society. Pertanyaannya adalah maukah kita mendidik diri kita sendiri untuk bersikap demokratis? Semoga...

  1. Meritokrasi atau kuota

Masyarakat Malaysia, sudah sejak lama, telah berada dalam alam pikiran segmentasi atas dasar perkauman. Oleh karena itu, ketika pengumuman kemasukan perguruan tinggi negeri, khususnya untuk fakultas kedokteran, dilansir oleh Kementrian Pengajian Tinggi, masalh itu menjadi sorotan utama. Bagi komunitas orang Cina dan India, rekuitment ini telah ’menyalahi’ sistem kouta yang selama ini menjadi pegangan kebijakan. Tetapi, pihak pemerintahan mengekspos bahwa apa yang telah berlaku tidak diambil atas dasar sistem kuota, tetapi dilaksanakan atas pertimbangan sistem meritokrasi, dimana unsur kemampuan dan kompetisi sangat diperhatikan.

Jawaban pemerintah dipandang sebagai sesuatu yang agak aneh, sebab selama ini hal tersebut tak pernah dilansir secara terbuka. Bagi pihak bangsa Cina dan India , terutama bagi para pemimpin politiknya, alasan meritokrasi ini hanya dikemukakan untuk ’mengelabui’ masyarakat agar terjadi pembenaran rekuitment orang-orang melayu untuk memasuki fakultas kedokteran, sebuah jurusan pendidikan yang masih amat terbatas diMalaysia. Dibalik semua itu, mereka percaya bahwa masalah ini berakar dari ’ keinginan terselubung’ para pemimpin Melayu kerana mereka ingin mewujudkan cita-cita bahwa bangsa melayu harus diurus oleh okter yang berasal dari etnis melayu,bukan dari etnis lainnya.

Saya melihat bahwa munculnya perdebatan antara meritokrasi dan kuota lebih banyak disebabkan oleh gagalnya bangsa Malaysia menyelesaikan ’ crosscultural consensus ’. Mereka belum memiliki pengalaman bagaimana konsessus harus dibuat antara jenis pekerjaan yang berprestise jenis pekerjaan yang ’ biasa’, antara unskill job dan fullskil job, antara pihak prilaku dan budaya melayu dengan prilaku dan budaya Cina atau India. Fenomena benturan antara kaum yang pernah dialami dengan mudah dilupakan. Inti persoalannya adalah terletak pada integrasi atau perpaduan. Integrai antar kaum baik secara kultural maupun secara mental, masih berapa dalam tataran yang ’lip service’. Integrasi hanya dianggap penting ketika dibicarakan,integrasi menjadi tidak terlalu penting ketika harus dilaksanakan di tingkat lapangan. Itulah sebabnya, perdebatan semacam itu akan tetap berlangsung terus seirama dengan permainan tarik menarik politik kultural dari masing-masing pemimpin partai politik. Dengan demikian ,’divertisy’ adalah sesuata yang selalu bersifat konsisten. Ia agaknya tidak akan pernah melebur menjadi terintegrasi. Keinginan yang besar untuk menjadikan masyarakat Malaysia sebagai ” the melting-put society par excellece” melalui system sekolah yang tidak berjalan dengan lancer. Pada kenyataannya, masalah persatuan dan perpaduan itu hanya ada dalam titik-titik garis demarkasi di dalam bentangan garis panjang kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berakibat persoalan dasar yakni lambatnya ’socialization ecperiences’ antar bangsa dalam satu rumpun negara.

Pergeseran semacam ini telah melanda kehidupan kita semua. Yang menjadikan keadaan lebih krusial adalah pergeseran itu justru terjadi ketika kita hidup di dalam dunia modern, global dan terbuka, di tengah kampanye kita tentang pentingnya sikap jujur dan menghargai karya orang, ditengah kita sedang meluaskan sosialisasi kompetisi sebagai salah satu ciri masyarakat yang mengglobal, berbudaya dan cerdas, dan ditengah kita sedang menginginkan adanya standar dalam setiap operasi pelayanan terhadap warga negara. Mungkin ada baiknya bila perdebatan antara sistem meritokrasi dan kuota itu dilanjutkan sampai pada tingkat standar aplikasi. Kita ingin meletakan perdebatan ini sebagai ’ a continuum of important to society’. Dengan dasar pandangan semacam itu, wacana dan perdebatan diatas dapat kita perkaya untuk memberikan sumbangan khasanah bagi perbaikan sistem berbangsa dan bernegara.

  1. Kehilangan Misi

Tingkat pengangguran lulusan universitas semakin banyak Daftar tunggu lulusan universitas, para sarjana kita, untuk memasuki dunia kerja emakin lama. Rata-rata waktu yang diperlukan bagi seorang lulusan universitas untuk masuk ke dunia kerja sesungguhnya bergerak antara 5 sampai 7 tahun. Selama masa tunggu itu, para lulusan universitas berada dalam status penganggur atau setengah pengenggur.Persoalan ini semakin menarik dan membuka kritik baru terhadap universitas. Banyak universitas dituding menghasilkan lulusan yang tidak berguna. Keahlian yang diperoleh oleh seorang sarjana sama sekali tidak relevan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Perguruan tinggi dituding asyik dengan dirinya sendiri tanpa memperhatikan perkembagan tuntutan pasar kerja di lapangan.Menghadapi kritik seperti itu banyak kalangan akademi yang ’gerah’,apalagi mereka dituduh tidak peka terhadap perubahan zaman dan tuntutan pasar kerja. Para pemimpin universitas kemudian mencoba berpaling untuk melihat model ’corporate university’, walaupun mereka sendiri masih dalam keadaan meraba-raba tentang sosok model lembaga tersebut. Diskusi tentang ’ corporate university’ semakin intentsif dilakukan.

Cerita ’ corporate university ’ berawal dari usaha perusahaan ayam goreng McDonald yang ingin meningkatkan mutu dan produk. Mereka inginmenjual produk dengan kualitas yang standar. Oleh sebab itu, perusahaan ini membuat apa yang disebut ’ the McDonaldlization ’ education. Lembaga ini bertugas melaksanakan untuk melaksanakan latihan yang terus menerus kepada semua pegawainya dan melakukan penelitian terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan mutu produk, pelayanan, pasar dan posisi perusahaa. Kemudian ,pada tahun 1961 mereka membuat “Hamburger University” sebagai ‘corporate university’. Atas dasar pengalaman seperti itu, gagasan ‘corporate university’ menjadi menarik dijadikan salah satu model untuk mendekatkan produk perguruan tinggi dengan pasar atau pengguna. Apalagi setelah keberhasilan seperti contoh di atas, lembaga-lembaga ‘corporate university’ tersebut menawarkan programnya kepada public. Yanh lebih menarik lagi tawaran semacam itu datang dari perusahaan-perusahaan dunia seperti Microsoft,Motorola,General Electric.

Dalam waktu 13 tahun kemudian, sejumlah ‘corporate university’ di AS didirikan. Perkembangannya semakin dramatis ketika hampir terdapat 100 lembaga pendidikan tradisional sejenis college tutup, kemudian mengubah diri menjadi ‘corporate university’. Saat ini diperkirakan terdapat hamper 2000n’corporate university’ di AS. Situasi seperti itu berpengaruh besar kepada dunia pendidikan. Dampak kepada dunia perguruan tinggi terasa amat besar, fpkus perhatian dunia pendidikan mulai ‘goyang’. Lembaga universitas yang selama ini mengasuh ‘pendidikan’ tergoda untuk mengubah model pengajaran deng “latihan”. “Training” seakan-akan menjadi lebih menarik dan fungsional dibandingkan dengan ‘education’. Lembaga universitas, kemudian, berlomba-lomba menyediakan program ’training’ semacam itu. Mereka melupakan tugas utamanya untuk menyediakan ’education’. Perubahan seperti itu membawa akibat yang luar biasa, tidak saja berkaita dengan sistem pengelolaan, tetapi juga bersangkut paut dengan sikap pragmatis terhadap tututan masyarakat. Akibat jangka panjang yang dihadapi oleh universitas semacam ini adalah mereka dengan tidak sengaja telah mengubah visi utama mereka sebagai universitas menjadi lembaga kursus yang menyediakan segala macam jenis latihan. Itu sebabnya, belakangan ini banyak kalangan yang menyampaikan kritik pada lembaga universitas kita sebagai lembaga ’toko kelontong’.

Menurut saya ’corporate university’, adalah sebuah lembaga pendidikan yang menjadi alat strategi untuk menghasilkan lulusan melalui pelaksaan aktivitas belajar mengajar dengan misi utama untuk meningkatkan kemampuan individu, organisasi belajar, pengetahuan dan kearifan. Oleh karena itu, ’corporate university’ tidak mengarah terus kepada otonomi ’budget management’, tetapi setidaknya ia harus mempunyai karakteristik sebagai berikut : Pertama, ’corporate university’ adalah suatu entitas pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan menjadi fungsi utama dari universitas ini. Latihan bukan menjadi fungsi utamanya. Kedua, ’corporate university’ adalah lembaga yang melaksanakan aktivitas pendidikan seperti proses belajar mengajar, belajar jarak jauh, penelitian, pengembangan manajemen, pengelolaan ilmu pengetahuan, pengembangan orientasi strategis anak didik, dan lain sebagainya. Menurut pandangan saya, sebuah ’corporate university’ yang dikelolah sebagai korporat ditentukan oleh kemampuannya untuk melakukan networking, atau link dengan lembaga, individu yang bersifat strategis. Pengembangan jaringan dan kemampuan membangun jaringan menjadi salah satu kunci bahwa sebuah universitas dapat dikatagorikan sebagai ’corporate university’. Tanpa itu, saya kira, sebuah universitas biasa, sebab sebuah ’corporate university’ memerlukan ’strong program and management’ yang berhubungan langsung dengan ‘corporate strategy’, terutama dalam hal operasi organisasi dan strategi apa yang disiapkan untuk memenangkan kompetisi terbuka di alam global semacam ini. Kita haus dapat membuat penilaian yang benar tentang kapasitas, kapabilitas dan kesiapan institusi kita untuk berubah. Kita tidak ingin mengulangi lagi bahwa perubahan nama hanya berhenti sampai mengganti logo dan semua atribut universitas, tetapi tidak merubah subtansi lembaga pendidikan seperti peningkatan mutu, kinerja staf dan tenaga pengajar, pengembangan infrastruktur pendidikan dan sebagainya. Oleh karena itu, saya kira, kita harus meluruskan visi kita, visi masa depan,. Kita jangan terjebak dengan sebutan ’corporate universitas’ atau universitas yang berstatus BHMN, tetapi pada kenyataannya, label semacam itu membohongi diri kita. Kita tidak boleh kehilangan visi untuk masa depan masyarakat kita.

  1. Kejahatan di Sekolah

Di halaman luar resto Planet Holywood dijalan Bukit Bintang saya duduk serius mendengarkan ’ocehan’ teman-teman para dosen beberapa universitas yang ada disekitar kuala lumpur. Saya ’takjub’ mendengarkannya sambil menikmati kegelisahan yang terjadi didalam pikiran. Mereka itu lima orang diantaranya bergelar profesor. Tiga lainnya Ph.d lulusan universitas terbuka di inggris dan amerika. Saya di undang malam ini untuk sekedar menikmati santap malam di kawasan Bintang Walk yang menyajikan banyak pemandangan atraktif dari lalu lalang manusia.

Peristiwa sedarhana itu memicu ’debat publik’ diantara kami. Ada yang menyatakan kegirangannya melihat anak sekolah yang masih keluyuran i waktu malam di sebuah kawasan pariwisata semacam Bukit Bintang Walk. Kawan saya itu menyatakan bahwa ini sebuah kemajuan bagi rakyat Malaysia, Sekolah sudah mulai mengajarkan bagaimana anak-anak itu ’menikmati dunia malam’ dengan berpakaian sekolah. Bukankah ini pertanda kemajuan?, lanjutnya lagi. Sementara teman yang lain memberi reaksi yang bersungut-sungut dengan sumpah serapah. Ia menyampaikan kekesalannya dengan cara mengajukan gigatan terhadap lembaga sekolah. Lembaga sekolah dihadapannya telah lalai memberikan ’pendidikan’ bagi anak-anak itu. Lembaga sekolah telah banyak mengajarkan kecurangan dan kejahatan. Lembaga sekolah telah lama menjadi institusi yang gagal dalam membendung prilaku anak yang ’abnormal’.

Kontribusi saya waktu itu dimulai dengan pertanyaan tajam yakni apa ada kejahatan di sekolah? Kalau ada, kejahatan jenis apa yang sering terjadi di sekolah ? Saya kemudian mulai mengelaborasi pengamatan terhadap praktek-praktek manajemen pendidikan di sekolah kita memang tidak pernah terbebas dari ’praktek kejahatan’ ini. Pernyataan itu cukup mengagetkan semua yang hadir. Apa betul dunia sekolah kita banyak dikelola dengan cara-cara ’yang jahat’? Rasanya tidak mungkin dan mustahil hal itu terjadi di dalam sekolah.Mari kita lihat Bagaiman praktek penerimaan murid baru disekolah. Saya menduga bahwa tidak ada satu sekolahpun yang terlepas dari ’semangat mencari uang’ dengan cara menaikan ’harga kursi’ disekolah bagi calon siswa. Praktek semacam ini menjadi semakin gila ketika ’harga sebuah kursi’ diseklah itu dapat dilakukan dengan tawar menawar.

Persoalannya akan semakin rumit bila kita mengungkapkan bahwa yang berlaku di sekolah sekarang ini juga tidak bisa rentan dari pengaruh dunia luar. Praktek-praktek penyogokan yang dilakukan oleh murid kepada guru, oleh orang tua kepada kepala sekolah, intimidasi guru terhadap anak didik, premanisme anak didik terhadap teman sebayanya, suap menyuap orang tua kepada guru, baik dengan cara memberikan hadiah, mengajak makan, membuat program jalan-jalan bersama dan sebagainya adalah gejala praktek kejahatan yang telah berlangsung lama. Mereka menganggap semua itu lazim dan tidak perlu dimasalahkan. Dalam situasi semacam itu, lembaga sekolah tidak dapat lagi menjadi institusi yang mengajarkan ’kebenaran’, ketulusan dan kejujuran. Sekolah telah banyak ’ meracuni’ nilai-nilai. Bahkan sekolah banyak mengajarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan sikap hidup masyarakat. Sekedar untuk bahan retropeksi kemungkinan kita akan segera gagal memberikan pelajaran, karena kita berdiri dari sudut pandang kita sendiri sebagai orang tua atau oarang dewasa.

  1. Katakan ”Tidak” Untuk Hal Yang Salah

Kira-kira seratus sekolah di seluruh Malaysia telah dimasukan dalam daftar hitam polisi, begitu berita utama semua surat kabar di kuala lumpur. Saya terpejanjat juga membaca berita tersebut. Saya ingin tahu lebih jauh mengapa polisi membuat daftar semacam itu. Dalam bagian lain dari berita itu terbaca alasan polisi dalam menyusun daftar, bahwa terdapat seratus ribu pelajar terlibat berbagai pelanggaran disiplin serius, baik kecil maupun besar, termasuk kegiatan kriminal seperti bertindak ala preman, merokok, memeras, mengancam, memukul, dan meminta uang perlindungan. Dalam lintasan persoalan diatas, saya kemudian teringat akan sebuah diskusi kecil saya dengan beberapa orang teman di ’the University of Melbourne’, di sebuh taman asri di depan gedung fakultas hukum tahun 1990. Waktu itu saya menyampaikan ketakutan saya bahwa melihat perkembangan kota yang pesat seperti sekarang ini, saya sangat yakin bahwa mungkin saja ’violent crime’ akan berkembang. Saya memberikan alasan panting saya adalah bahwa kehidupan kota besar selalu menyisakan konflik. ’ Violent crime’ selalu akan terjadi da melibatkan ’poor people attacking other poor people’. Ini terjadi karena adanya intimidasi ketidaksamaan sosial di perkotaan.

Kekerasan perkotaan telah menjadi tren hamper di semua bagian kota-kota besar dunia. Anak-anak sekolah telah melinatkan diri dalam kegiatan semacam itu. Mereka melihat contoh perlibatan dari exkpos media yang sangat gencar mengungkapkan ’violent crime’.Gejala perkotaan ini sudah Menjadi contoh para pelajar kita. Sekolah luput dari perhatian kegiatan semacam itu. Sekolah tegah asyik dengan kegiatan sendiri. Mengajarkan nilai-nilai yang tak memperhatikan gejala didalam masyarakat. Mengapa lembaga sekolah dimasukan dalam daftar hitam polisi. Apakah tidak ada kerisauan kita terhadap lembaga sekolah, apabila lembaga tersebut juha telah terjerumus dalam ’violent crime’. Kita telah gagal merumuskan kembali lembaga sekolah agar dapat berfungsi sebagai pusat pendidikan warga negara yang baik. Kita telah lama melupakan bahwa sekolah tidak boleh berhenti hanya sekedar mengajarkan ilmu-ilmu, tetapi luput mengajarkan peradaban, suatu aspek penting dari pembelajaran masyarakat.

Kita memerlukan kontrol sosial terhadap peradaban kita. Kontrol sosial merupakan prasyarat penting bagi masyarakat modern. Kita memerlukan orang-orang yang berani mengatakan tidak bagi orng-orang yang menerapkan ’bad habits’ dilingkungan sekolah.tetapi kita juga memerlukan upaya yang sama di tingkat yang lebih atas, di tingkat pengambil kebijakan.

  1. The Great Promise

Kampanye Pemilihan presiden sedang berlangsung di beberapa negara belakangan ini. Tidak terkecuali Indonesia, kampanye pemilihan langsung presiden banyak menyisaka pelajaran penting. Disamping suasana kampanye yang relatif aman,’diam’ serta tek terlalu banyak menggugah kesungguhan rakyat dalam memperhatikan rencana kerja setiap kandidat masing-masing calon, tetapi putaran kampanye itu banyak juga yang menjadi bahan tontonan rakyat. Rakyat tampak ’senang’, tertawa dan gembira. Ini saja mencerminkan situasi kegirangan dikalangan masyarakat, ini tidak saja mencerminkan suatu kegirangan dikalang masyarakat, tetapi sekaligus mencerminkan kegetiran melihat keculuan-kelucuan para kandidat dan tim kampanye. Masyarakat mulai sadar bahwa suguhan ang sedang mereka nikmati itu adalah ulangan dari berbagai ’hipokrisi’ yang selama ini berlangsung.

Saya memperhatikan betul fakta dan gejala semacam itu. Saya ingin memberikan kontribusi gagasan untuk memberi saluran mediasi agar apa yang sedang dialami oleh masyarakat kita itu tidak menjadi sikap apatisme,diam seribu bahasa, bahkan memendam ’dendam’ perasaan, sehingga bisa menjadi pemicu ketidakpuasan sosial dikemudian hari. Saya ingin memulai mediasi saya dengan terminoligi dari Richard Florida, seorang ahli pembangunan ekonomi regional di Carniegie Mellon University, AS. Ia mengatakan bahwa sekarang ini kita sedang berada dalam kehidupan yang penuh dengan janji-janji. ”we live in a time of great promise” . Kita semua melakukan janji-janji kepada siapa saja. Calon presiden berjanji kepada para pendukungnya untuk berbuat ini dan itu agar mereka dapat memilih si calon tersebut. Demokrasi dijanjikan oleh para elite politik kepada rakyat agar dapat hidup lebih baik dan sejahtera dikemudian hari.

Anehnya, masyarakat terbelah dalam memandang fenomena ini. Sejumlah orang mengatakan bahwa apa yang sedang berlaku ini merupakan suatu kemajuan yang luar biasa. Sebagian lagi menganggap apa yang sedang berlangsung ini merupakan sesuatu yang tidak memiliki makna sesungguhnya. Sebagian yang turut merencanakan kampanye pemilihan langsung presideng melihat bahwa janji-janji kampanye merupakan sesuatu yang lumrah dan biasa. Apalagi, mereka secara sadar membungkus pesan dan janji itu dengan begitu cantik, bagus dan spektakuler agar dapat menimbulkan efek ganda, yakni ketakjuban orang untuk memilih.

Masyarakat kita tampaknya telah terbiasa menerima perubahan. Janji yang satu berubah kepada janji yang lain. Hari ini kita berjanji tentang suatu soal, besok kita berjanji dengan soal yang lain. Perubahan demi perubahan selalu saja berlangsung dengan cepat terkadang satu perubahan belum selesai dengan tuntas, telah datang perubahan lain. Kehidupan manusia selalu saja berada dalam situasi bergerak. ”people are more mobile”. Karena itu, kita masih memerlukan semacam ’strong-tie relationship’ agar kita masih berada pada garis pergerakan yang benar. Tetapi masalhnya adalah kearah mana pergerakan yang benar itu sedang berlangsung? Apakah arah pergerakan yang ditawarkan oleh para kandidat calon presiden itu adalah sesuatu yang benar, yang menjanjikan masa depan.

Memperhatikan dampak yang tidak kecil seperti yang dimaksudkan diatas, saya menganggap bahwa sekarang ini kita memerlukan suatu ’ new kinds of social institusions and policy’, untuk melengkapi sistem sosial politik dan ekonomi kita, agar semua itu dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan peraturan yang kita sepakati bersama. Kita berharap bahwa melalui pemilihan presiden langsung semua sistem dapat berjalan dengan sempurna, make it work well.

  1. Membangun Kapasitas Rakyat

5 Juli 2004, pukul 09.00 pagi. Saya agak heran suasana Pemilu kali ini seolah-olah tak menunjukan denyut kuat. Saya mengira akan ada perbedaan atmosfir yang signifikan deng pelaksanaan Pemilu legislatif. Suasana terasa sepi . Tetapi dugaan saya meleset, sebab begitu saya masuk ke lokasi telah banyak orang yang menunggu giliran untuk mencoblos. Mereka datang dari pabrik-pabrik secara bersama-sama. Para pekerja pabrik atau TKI tersebut diangkut oleh bus-bus khusus yang telah disiapkan oleh pemilik pabrik. Sebagian orang yang berkerumun saya kenal dengan baik. Wajah-wajah mereka telah lama akrab dengan saya. Mereka adalah warga KBRI dan masyarakat sekitar Kuala Lumpur. Suasana pemilihan tak terlalu jauh berbeda. Semua berjalan dengan tertib,teratur,mengikuti alur yang telah ditentukan.

Memperhatikan antusiasme rakyat dalam memilih calon presiden dan melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara, saya kemudian teringat dengan besarnya modal sosial bangsa kita. Rakyat kita, menurut hemat saya, memiliki banyak modal untuk menjadi bangsa yang besar dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Ikatan emosional terhadap negara dan bangsa, pengetahuan anak bangsa tentang harapan masa depan, merupakan modal penting yang dapat dijadikan batu loncatan untuk ’memulihkan kembali’ spirit membangun bersama bangsa dan negara. Kita telah lama dikenal sebagai negara yang mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam membuat suatu hubungan sosial yang bermakna. Rakyat kita, baik yang ada di desa dan di kota, telah lama terbiasa melakukan hubungan sosial dalam bingkai pluralisme, warna-warni, sehingga memunculkan autentisitas karakteristik hubungan satu sama lain. Justru kekuatan semacam ini yang telah lama merakat bingkai hubungan sosial kita menjadi apa yang saya sebut sebagai ’strong social ties’. Soatu hubungan sosial yang belakangan ini diporakporandakan oleh politik kepentingan beberapa olang yang ingin mengambil keuntungan di tengah anomali sejarah Indonesia. Itulah modal sosial kita bersama.

Modal ini bukan tidak dapat dimanfaatkan. Modal ini sangat mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan membangun kapasitas orang Indonesia. Hanya saja, kita memerlukan banyak jaringan untuk membangun kapasitas semacam itu. Jaringan yang memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk merumuskan masa depan mereka. Akses terhadap informasi dan pengetahuan tentang tokoh pemimpin, reputasi, cita-cita masa depan, abilitas, serta keterampilan dalam mengambil keputusan, menjadi barang penting dan menentukan wajah partisipasi dari rakyat kita. Rakyat telah memberi sinyal tentang aset yang dimilikinya. Pengetahuan dan pemahaman merekatentang seorang pemimpin, perumusan mereka tentang masa depan yang diharapkan menjadi sirkulasi penting dari kehidupan demokrasi dan pembangunan politik kita di masa depan. Kita secara tidak sengaja, telah memulai suatu kreasi model baru dari kehidupan bersama. Mereka bertidak bersama atas dasar refleksi dan kesadaran tentang masa depan mereka. Tinggal sekarang bagaimana para pengambil kebijakan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Saya melihat ada ” circle of awareness, reflection and model creation” di dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, apabila hal ini dapat dikelola secara bijak, maka ia akan menjadi dorongan yang amat menentukan untuk meningkatkan kapasitas rakyat Indonesia menjadi seorang warga Negara yang baik.

Siklus seperti diatas saya rumuskan setelah memperhatikan begitu banyak aspirasi masyarakat yang melutup kepermukaan pergumulan politik di Indonesia. Kita menyambut baik siklus semacam itu. Saya menaruh harapan besar bahwa kedewasaan rakyat kita telah didasarkan kepada pendayagunaan modal yang dimiliki oleh mereka sendiri. Kita dapat belajar dari rentetan peristiwa pemilu yang baru lalu. Sekarang telah tiba waktunya untuk membuktikan bahwa kapasitas rakyat Indonesia dapat dijadikan andalan untuk mempercepat penciptaan keadilan dan kesejahteraan.

  1. Meluruskan Arah Reformasi

Para mahasiswa kecewa bahwa program reformasi banyak diselewengkan oleh para pengambil kebijakan kita di tingkat nasional. Tokoh-tokoh partai politik lebih mementingkan nasib partainya daripada nasib rakyat keseluruhan. Para pejabat tinggi negara di anggap ’kopeg’ terhadap aspirasi rakyat. Komplain terus terjadi di semua sektor kehidupan, Sementara penyelenggaraan pemerintah tidak terlalu dapat diharapkan. Di daerah-daerah telah terjadi penyebarluasan prilaku tak terpuji seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hukum dapat dipermainkan sampai tingkat paling rendah didalam tatanan masyarakat.

Demokrasi. Salah satu masalah pokok kita sebelum reformasi adalah bahwa negara telah lama dikelole secara sentralistik. Posisi rakyat selalu saja berada dalam arena pinggiran. Partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan tidak pernah mendapatkan tempat yang wajar, sekalipun tingkat partisipasi itu dalam level yang sangat rendah. Dalam keadaan seperti itu, kita menginginkan adanya perubahan, perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, dipilih oleh rakyat, untuk rakyat, dan mengabdi kepada rakyat. Karena rakyat menjadi fokus, maka proses demokrasi itu sendiri harus desertai dan dilandasi oleh nilai-nilai tertentu seperti penghargaan terhadap pluralisme yang ada dan berkembang di dalam masyarakat, mendorong kemampuan rakyat untuk selalu dapat melaksanakan kompromi terhadap berbagai kepentingan bersama, sehingga dapat ditemukan jalan yang saling menguntungkan bagi kehidupan bangsa dan negara.

Tugas utama dalam mendorong masyarakat untuk selalu sadar berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis seyogyanya dilakukan oleh para kaum intelektual, warga kampus, para aktivis mahasiswa. Mereka merupakan kelompok masyarakat, di samping mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang subtansi demokrasi, tetapi juga mereka mempunyai kemampuan untuk memberikan penjelasan kepada rakyat awam. Kita harus berani melakukan pergeseran peran dari peran pendorong reformasi, pendobrak kemapaman, melawan tirani, kepada peran memberdayakan masyarakat untuk aktif berpartisipasi di dalam proses demokrasi dalam bingkai pelaksanaan ”rule of the law”.Kita selalu sadar bawha warga negara adalah salah satu konsep kunci dalam teori demokrasi. Unit terkecil atau anggota dari masyarakat demokrasi di suatu negara adalah warga negara. Oleh karena itu, pengakuan yang jujur, tepat dan jelas tentang siapa warga negara itu, Apa kedudukannya dalam konstitusi, apa perannya, apa tanggungjawabnya dan bagaimana mereka berpartisipasi dalam proses kenegara menjadi salah satu jalur penting di dalam kehidupan demokrasi.

Ukuran kehidupan demokrasi ditakar oleh aman atau tidaknya kebijakan yang telah di ambil sebelumnya. Demokrasi menjadi sesuatu yang di awang-awang. Kehidupan rakyat dimobolisasi untuk melegitimasi kebijakan sekelompok elite yang sedang memegang kekuasaan.

Karena pengalaman traumatik masa lalu. Reformasi ditujukan untuk mendorong perwujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Reformasi itu untuk menguntungkan rakyat, bukan untuk menguntungkan suatu organisasi tertentu. Mendidik masyarakat Indonesia, dalam berbagai level jabatan,status sosial,jenis pekerjaan tentang tujuan reformasi masih menjadi penting. Sebab banyak kalangan yang masih merasakan bahwa apa yang sedang terjadi ini adalah hanya sekadar perubahan wajah, tetapi subtansi poko yang dituntut oleh perubahan itu masih belum mengalami perbaikan. Semoga angka-angka yang disajikan di depan akan memberi banyak cerita dibalik fenomena aspirasi rakyat. Kita akan selalu memperhatikan perubahan-perubahan itu dan jika dibutuhkan kembali mengambil peran. Itulah dimensi yang dimainkan oleh para aktivis kita.Semoga negara dan bangsa indonesia selamat dalam mengarungi masa transisi demokrasi kali ini.



Judul : No choice Education (Pendidikan sebagai pendorang pemberdayaan masyarakat)

Pengarang: Muchlis R.Luddin

Edisi Pertama : Februari 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar