Minggu, 24 Mei 2009

Sukarlik dan Anak Berkebutuhan Khusus

KOMPAS.com — Ancaman dicopot dari jabatan sebagai kepala sekolah tak menyurutkan keyakinan Sukarlik membuka SD negeri yang dipimpinnya terbuka bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Ia yakin, membaurkan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal di sekolah reguler justru membuat mereka belajar saling memahami dan mendukung.
Bukan Sukarlik jika kalah sebelum berperang. Saat diancam hendak dicopot sebagai kepala sekolah, ia bersikukuh dengan niatnya. ”Pas mau dipecat saya bilang, saya ini dari Blitar, masih bisa jualan pecel. Namun, saya ngomong itu sambil menangis.”
Di sekolah yang dipimpin Sukarlik, anak down syndrome, lambat belajar, autis, tunanetra, dan tunarungu boleh mendaftar. Mereka bersosialisasi dengan anak reguler untuk membantu menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang juga berpotensi.
Apa yang dilakukan Sukarlik sejak menjabat Kepala SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya tahun 1989 itu awalnya tak disambut baik warga sekolah. Tantangan paling keras justru datang dari dinas pendidikan setempat yang tak menerima ABK berbaur dengan anak sekolah reguler. Katanya, ABK secara formal harus belajar di sekolah luar biasa (SLB).
Demi menjalankan niat baik, dia bersama guru-guru lain pun menyusun siasat. Jika ada pengawasan ke sekolah, ABK yang secara fisik mudah dikenali, terpaksa disembunyikan di kamar kecil atau sawah.
”Untungnya cara itu berhasil. Anak-anak down syndrome wajahnya mudah dikenali, ya mereka disembunyikan. Kalau ketahuan, bisa-bisa mereka enggak boleh sekolah lagi. Begitulah kebijakan pemerintah saat itu. Namun, yang penting kami di sekolah bisa menerima anak-anak,” tutur Sukarlik.
Jalan menuju perubahan terbuka pada tahun 2000. Ketika ada Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) SLB, pejabat dari dinas pendidikan pusat melihat ada siswa yang dikategorikan ABK tetapi memakai badge seragam SDN.
”Mereka jadi tahu jika anak-anak berkebutuhan khusus yang dilihat itu sekolah di sini. Saya ditanya ini kelas apa? Saya jawab kelas integrasi. Anak berkebutuhan khusus itu bisa lebih cepat bersosialisasi jika belajar bareng anak biasa. Saya balik tanya, kenapa mereka dari kecil dimasukkan SLB? Nantinya mereka juga akan punya pasangan dan tak selamanya di lingkungan luar biasa. Tuhan memberi kekurangan kepada anak-anak itu untuk melengkapi anak-anak lain,” katanya.
Sekitar tiga tahun kemudian, dia diundang ke Jakarta. Sukarlik berkesempatan menjelaskan apa yang dilakukan sekolah bagi ABK. Dia juga sempat menuangkan keresahan hatinya soal keberatan dinas pendidikan setempat yang menyebutkan tindakannya melanggar aturan.
”Saya baru tahu jika apa yang dilakukan sekolah kami sebenarnya juga ingin dilakukan pemerintah pusat. Namun, program itu tak berhasil. Program itu dinamakan sekolah inklusi. Mendengar itu, saya lega. Saya bersyukur Tuhan menunjukkan, apa yang saya lakukan itu betul,” ujar nenek tiga cucu ini.
Program pemerintah yang mengembangkan dan mendukung sekolah inklusi membuat semangat Sukarlik makin kuat. Ia lalu mengajak sekolah negeri lain untuk membuka pendaftaran bagi ABK. Kini sudah 17 sekolah swasta dan negeri yang menjadi sekolah imbas SDN Klampis Ngasem I-246.
”Saya senang karena anak-anak berkebutuhan khusus yang tadinya cuma ingin ke sekolah kami sudah bisa ke sekolah yang dekat rumah. Ini terutama anak-anak dari keluarga tak mampu. Mereka bisa sekolah gratis karena didukung pemerintah,” katanya.
Penolakan
Tumbuhnya keinginan Sukarlik melayani ABK karena miris melihat perlakuan tak adil yang diterima ABK. Dalam keluarganya, anak kakaknya yang berkebutuhan khusus tak bisa sekolah karena miskin.
Di perkampungan nelayan tempat dia mengajar, Sukarlik melihat anak down syndrome diolok-olok sebagai orang gila. Ia yang saat itu menjadi Kepala SDN Kejawan Putih, Tambak, Surabaya, mencoba memasukkan anak nelayan itu ke SLB yang dikelola yayasan dokter.
”Namun, anak itu ditolak karena enggak mampu bayar. Bagaimana mau memikirkan uang sekolah, untuk makan saja keluarganya sudah susah. Saya marah dan kecewa,” katanya.
Dia lalu membulatkan tekad mengajar tiga anak nelayan down syndrome itu. Ia pernah punya pengalaman mengajar di panti milik Romo Yansen di Malang. Sukarlik mengajari mereka dibantu seorang guru yang berlatar belakang pendidikan luar biasa di ruangan kepala sekolah.
ABK diajak bersosialisasi dengan anak-anak reguler. Ketika pelajaran seni atau olahraga, ABK belajar bersama anak-anak lain. Lambat laun makin banyak ABK dari keluarga miskin yang mendaftar, sampai 47 anak.
Keberadaan ABK di sekolah reguler lalu mendapat simpati dari banyak pihak. Bantuan mengalir ke sekolah Sukarlik dengan beragam program.
”Mereka melihat anak berkebutuhan khusus membawa keberuntungan, di mana anak lain juga bisa merasakan bantuan dari banyak pihak. Semua warga sekolah bisa menerima sekolah yang membaurkan anak-anak berkebutuhan khusus dan reguler,” ujarnya.
Ia sadar tak mudah membuat masyarakat mau memperlakukan ABK dengan baik. Ia mengadakan pendekatan kepada anak-anak, orangtua, dan para guru.
Kepada anak normal, ia mengatakan, ”Berbahagialah kamu, bersyukurlah enggak seperti dia. Kalau kamu membantu teman yang berkebutuhan khusus, Tuhan memberi pahala.”
Hal senada juga dikatakan Sukarlik saat menyapa orangtua siswa yang tengah menunggu anaknya. Semua orangtua ingin anaknya cantik, ganteng, dan pintar. ”Orangtua saya ajak bersyukur. Mereka jadi tersentuh dan mau menerima anak-anak berkebutuhan khusus berbaur dengan anak mereka,” katanya.
Para guru yang harus berhadapan dengan ABK juga dipompa semangatnya. ”Kalau Anda membuat anak normal atau anak orang kaya bisa pintar, itu biasa. Namun, kalau Anda membuat pintar anak berkebutuhan khusus atau anak orang miskin, Tuhan akan memberi pertolongan. Jangan takut miskin,” katanya meyakinkan para guru.
Sukarlik yakin setiap anak itu punya potensi. Mereka hanya perlu dibantu. Terbukti, ABK dari SDN Klampis Ngasem I-246 bisa mandiri dan tak canggung bersosialisasi dengan siapa saja.
Ada siswa tunarungu menjadi peragawati. Ada siswa yang lambat belajar dan sampai kelas III SD belum bisa membaca kemudian dapat menjadi perias yang mewakili Jatim dan meneruskan kuliah di IKIP.
”Saya bersyukur sekolah inklusi mulai berkembang. Saya enggak dikejar-kejar (lagi), lega, dan bahagia,” ujarnya.
Sukarlik berharap fasilitas di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya bisa lebih baik. Ia ingin di sekolahnya ada ruang identifikasi dan ada kolam renang, terutama untuk siswa autis.
”Saya tak bisa mengharapkan bantuan dari orangtua siswa, sulit sekali, karena mereka tak mampu. Namun, saya ingin anak-anak berkebutuhan khusus dari keluarga tak mampu sekalipun bisa terlayani dengan baik,” katanya.
Tahun 2009 Sukarlik memasuki usia pensiun. Namun, dia diminta untuk tetap membimbing pengembangan sekolah inklusi di Surabaya. Permintaan yang tak mungkin ditolaknya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar